Senin, 29 Agustus 2011


2.1.6   Hak Anak Secara Hukum

Hak-hak anak yang terdapat dalam UU No. 39 / 1999 tentang HAM:
1.     Hak hidup (Pasal 53 ayat 1)
2.     Hak atas suatu nama (Pasal 53 ayat 2)
3.     Hak atas kewarganegaraan (Pasal 53 ayat 2)
4.     Hak anak cacat (Pasal 54)
5.     Hak untuk beribadah (Pasal 55)
6.     Hak untuk mengetahui asal-usulnya dan hak untuk dipelihara oleh orang tuanya (Pasal 56 ayat 1 dan Pasal 57 ayat 1)
7.     Hak atas perlindungan dari kekerasan (Pasal 58)
8.     Hak untuk tidak berpisah dengan orang tuanya (Pasal 59 ayat 1)
9.     Hak atas pendidikan dan informasi (Pasal 60)
10.  Hak atas istirahat dan rekreasi (Pasal 61)
11.  Hak atas kesehatan (Pasal 62)
12.  Hak untuk tidak dilibatkan pada waktu perang dan berhak merasakan kedamaian (Pasal 63)
13.  Hak untuk tidak dieksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual (Pasal 64 dan 65)
14.  Hak atas keadilan, perlindungan dan bantuan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana – anak yang berhadapan dengan hukum (Pasal 66)

Sementara itu menurut World Summit for Children tahun 1990 di New York (Joni Muhammad, 1999) yang kemudian melahirkan Konvensi Hak Anak, dijelaskan bahwa paling tidak ada 4 hak anak yaitu:
1.     Hak terhadap kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya;
2.     Hak terhadap perlindungan, yaitu yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, bagi anak-anak pengungsi;
3.     Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal-informal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak;
4.     Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a chil to express her/his views in all matters affectingthatchild).
2.1.5   Dasar Hukum Perlindungan Anak
Menurut UUD 1945, “Anak Terlantar Dipelihara oleh Negara”, artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, leisure and culture activities), dan perlindungan khusus (special protection). Pemerintah Daerah Kota Makassar melalui Peraturan Daerah Kota Makassar nomor 2 tahun 2008 membahas tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen secara lebih rinci.
2.1.4     Tahap-Tahap Perkembangan Anak
Teori Perkembangan Kognitif
, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1.     Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a.  Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b.  Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c.   Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d.  Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e.  Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
f.    Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

2.     Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

3.     Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
a.  Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
b.  Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
c.   Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
d.  Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e.  Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
f.    Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).


4.     Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

2.1.3   Klasifikasi Anak Jalanan
Berdasarkan kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk. eds : 1997) :
Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan oleh kedua orang tuanya.
Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi petemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual (Irwanto, 1995).
Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya (Blanc & Associates, 1990 ; Irwanto dkk, 1995 ; Taylor & Veale, 1996). Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah ditemui diberbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel jereta api dan pinggiran sungai.

Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000:2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori :
1.     Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria :
a.  Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya;
b.  8-10 jam berada di jalanan untuk “bekerja” (mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya menggelandang / tidur;
c.   Tidak lagi sekolah;
d.  Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
2.     Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria :
a.  Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b.  8-16 jam berada di jalanan;
c. Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua / saudara, umumnya di daerah kumuh;
d.  Tidak lagi sekolah;
e.  Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu, dll.
f.    Rata-rata berusia dibawah 16  tahun.
3.     Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria :
a.  Bertemu teratur setiap hari / tinggal dan tidur dengan keluarganya;
b.  4-5 jam kerja dijalanan;
c.   Masih bersekolah;
d.  Pekerjaan : penjual koran, penyemir, pengamen, dll;
e.  Usia rata-rata dibawah 14 tahun.
4.    Anak jalanan berusia diatas 16 tahun, dengan kriteria :
a.  Tidak lagi berhubungan / berhubungan teratur dengan orang tuanya;
b.  8-24 jam berada di jalanan;
c.   Tidur di jalan atau di rumah orang tua;
d.  Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi;
e.  Pekerjaan : calo, mencuci bus, menyemir, dll.

Dalam buku “Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan melalui Rumah Singgah” (2002:13-15), setiap rumah singgah boleh menentukan sendiri kategori anak jalanan yang didampingi. Kategori anak jalanan dapat disesuaikan dengan kondisi anak jalanan sebagai berikut :
1.     Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan cirinya sebagai berikut :
a.  Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu
b.  Berada di jalanan seharian untuk bekerja dan menggelandang
c.   Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emperan toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun, dll
d.  Tidak bersekolah lagi
2.     Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya adalah :
a.  Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekeja di jalanan
b.  Berada di jalanan sekitar 8 s.d 12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam
c.   Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua / saudaranya, atau tempat kerjanya di jalan
d.  Tidak bersekolah lagi
3.     Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya adalah :
a.  Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur)
b.  Berada di jalanan sekitar 4 s.d 6 jam untuk bekerja
c.   Tinggal dan tidur bersama orang tua / wali
d.  Masih bersekolah

Lebih jelas dalam buku “Modul Pelatihan Pimpinan Rumah Singgah” (BKSN, 2000:61-62) kategori dan karakteristik anak jalanan :
1.     Kelompok anak yang hidup dan bekerja dijalanan
Karakteristiknya :
a.  Menghabiskan seluruh waktunya dijalanan
b.  Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan
c.   Tidur diruang-ruang / cekungan diperkotaan, seperti : terminal, emperan toko, kolong jembatan dan pertokoan
d.  Hubungan dengan orang tuanya biasanya sudah putus
e.  Putus sekolah
f.    Bekerja sebagai : pemulung, pengamen, mengemis, semir, kuli angkut barang
g.  Berpindah-pindah tempat
2.     Kelompok anak jalanan yang bekerja dijalanan dan masih pulang ke rumah orang tua mereka setiap hari
Karakteristiknya :
a.  Hubungan dengan orang tua masih ada tetapi tidak harmonis
b.  Sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan untuk meninggalkan bangku sekolah
c.   Rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali ke rumah
d.  Bekerja sebagai : pengemis, pengamen di perempatan, karnet, asongan koran dan ojek payung.
3.     Kelompok anak jalanan yang bekerja dijalanan dan pulang ke desanya antara 1 hingga 2 bulan sekali
Karakteristiknya :
a.  Bekerja dijalanan sebagai : pedagang asongan, menjual makanan keliling, kuli angkut barang
b.  Hidup berkelompok bersama dengan orang-orang yang berasal dari satu daerah dengan cara mengontrak rumah atau tinggal di sarana-sarana umum / tempat ibadah seperti masjid
c.   Pulang antara 1 hingga 3 bulan sekali
d.  Ikut membiayai keluarga didesanya
e.  Putus sekolah
4.     Anak remaja jalanan bermasalah (ABG)
Karakteristiknya :
a.  Menghabiskan sebagian waktunya dijalanan
b.  Sebagian sudah putus sekolah
c.   Terlibat masalah narkotika dan obat-obatan terlarang
d.  Sebagian dari mereka melakukan pergaulan seks bebas, pada beberapa anak perempuan mengalami kehamilan dan mereka rawan untuk terlibat prostitusi
e.  Berasal dari keluarga yang tidak harmonis

Lebih rinci dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:23-24) karakteristik anak jalanan dituangkan dalam matriks berupa tabel ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan berikut ini : 

Tabel 2.1  Ciri-ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan
Ciri Fisik
Ciri Psikis
Warna kulit kusam
Rambut kemerah-merahan
Kabanyakan tidak terurus

Mobilitas tinggi
Acuh tak acuh
Penuh curiga
Sangat sensitif
Berwatak keras
Kreatif
Semangat hidup tinggi
Berani menanggung resiko
Mandiri


Lebih lanjut dijelaskan dalam buku tersebut, indikator anak jalanan :
1.     Usia berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun
2.     Intensitas hubungan dengan keluarga :
a.  Masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari
b.  Frekuensi berkomunikasi dengan keluarga sangat kurang
c.   Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
3.     Waktu yang dihabiskan dijalanan lebih dari 4 jam setiap hari.
4.     Tempat tinggal :
a.  Tinggal bersama orang tua
b.  Tinggal berkelompok dengan teman-temannya
c.   Tidak mempunyai tempat tinggal
5.    Tempat anak jalanan sering dijumpai di : pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat pembuangan sampah.
6. Aktifitas anak jalanan :  menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran / majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.
7.    Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok, modal majikan / patron, stimulant / bantuan.
8. Permasalahan : korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas, ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal, ditolak masyarakat lingkungannya.
                      9.  Kebutuhan anak jalanan : aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan
                           usaha, pendidikan, bimbingan keterampilan, gizi dan kesehatan, hubungan
                           harmonis dengan orang tua keluarga dan masyarakat.